Tentang SiMbak
Housemate saya
dimintain tolong oleh dosennya untuk mencarikan orang yang bisa bekerja di
rumahnya. Yah, mencarikan calon TKI untuk sektor domestik lah, gitu. Kita
panggil saja SiMbak ya sang calon pekerja ini. Nah, sebelum SiMbak dijemput
oleh dosen tersebut, mampirlah di rumah kami dulu. Tadi jam 10 pagi SiMbak
sampai rumah ini. Ibu Housemate yang hobi nanya ini mengawali perkenalan dengan
serentetan pertanyaan. Diketahuilah bahwa SiMbak ini sudah pernah kerja di
Malaysia sebelumnya, tiga tahun dengan majikan yang baik banget. SiMbak bahkan
sampai diajak umrah segala :’) Terharu, yah. Lalu berceritalah bahwa SiMbak ini
dari Situbondo. Bikin passport dan urus segala dokumen untuk perjalanan dan
izin bekerja di Gresik.
Perjalanan yang
diperlukan untuk sampai ke Kajang ini dari mulai darat, udara dan laut, lho.
SiMbak naik bis dari Situbondo ke Surabaya. Dari Surabaya naik pesawat ke
Batam. Dari Batam naik kapal laut ke Johor. Dari Johor naik bis ke Kajang.
Sampai Kajang jam satu dini hari, kemudian menginap di PT (kantor agen
pengiriman tenaga kerja) Total perjalanan adalah tiga hari. Ternyata SiMbak
belum makan sejak kemarin :( Mungkin Surabaya adalah kota terakhir tempatnya
makan. Setelah makan di rumah kami, SiMbak pun tidur. Kelihatannya capek
sekali. Tidurnya kelihatan pulas.
Di satu sisi,
kasihan melihatnya. Pasti capek sekali perjalanan menuju negara ini. Di lain
sisi, tetep kasihan. Pertanyaan SiMbak ke Ibu Housemate adalah “Bu, bisa tidak
saya kirim semua gaji saya ke Indonesia nanti? Gimana caranya?”. Ibu Housemate
yang gesit itu bertanya kenapa harus dikirim semua uangnya, kenapa tidak
ditabungkan sebagian. Kata SiMbak, anaknya ada hutang. Saya sempat berpikir,
hutang apa sampai-sampai Ibunya harus bekerja di luar negeri dan “mencangkul”
untuk membantu membayarkan hutang itu. Ternyata si anak mencicil motor di
kampung. Hal paling sedih adalah bahwa si anak tidak bekerja dan motor itu
tidak pun dipergunakan untuk mencari uang misalnya dengan mengojek atau apalah.
Jadi, kebayang kan?
Media massa banyak
menyoroti bagaimana TKI kita diperlakukan di negara-negara tempat mereka
bekerja. Pernah berpikir terbalik gak? Bagaimana keluarga mereka bahkan memperlakukan
mereka demikian. Entah harus pakai kata apa untuk mendeskripsikan apa yang ada
di kepala saya. Hanya saja, stereotipe yang ada di benak kebanyakan orang
tentang masyarakat di negara-negara destinasi para TKI bekerja selalu disoroti
sebagai penjahat yang memperlakukan TKI kita dengan semena-mena. Mungkin kita
perlu melihat juga ke halaman sendiri, bagaimana TKI kita diperlakukan,
bagaimana TKI kita digambarkan.
Tidak sedikit
teman-teman saya di sini yang melihat para TKI dengan pandangan...errghhh...and
whatsoever. Kalau sedang jalan-jalan, lalu melihat sekumpulan TKI sedang
tertawa, ngobrol, dengan ciri mereka yang bisa dibedakan dari kumpulan
masyarakat lainnya, banyak dari teman-teman saya yang melihat mereka “ih..TKI”
atau berkomentar tentang cara mereka berpakaian dan lain sebagainya. Lalu,
ketika hal itu dilakukan oleh orang-orang lokal di negara tempat mereka
bekerja, kenapa itu jadi dosa besar, kesalahan yang tidak termaafkan. Buat yang
sering wara wiri melalui bandara Soekarno-Hatta misalnya, coba deh perhatikan
bagaimana TKI kita diperlakukan. Di papan ucapan selamat datang bolehlah mereka
disebut Pahlawan Devisa. Tapi bagaimana okmun petugas di bandara memperlakukan
mereka? Not even close to what so called as heroes. Sedih.
Di sini saya mau
ajak teman-teman, pun diri saya, untuk kembali merenung tentang how do we treat
them. Treat di sini gak mesti tentang kita berinteraksi langsung dengan mereka
lho. It is also pertaining to how you portray them from your own perspective. Really, they are
humans. Just like us.
0 komentar